Untuk dapat disebut memiliki gangguan ADHD, harus ada tiga gejala utama yang nampak dalam perilaku seorang anak, yaitu inatensi, hiperaktif, dan impulsif. Inatensi atau pemusatan perhatian yang kurang dapat dilihat dari kegagalan seorang anak dalam memberikan perhatian secara utuh terhadap sesuatu. Anak tidak mampu mempertahankan konsentrasinya terhadap sesuatu, sehingga mudah sekali beralih perhatian dari satu hal ke hal yang lain.
Gejala hiperaktif dapat dilihat dari perilaku anak yang tidak bisa diam. Duduk dengan tenang merupakan sesuatu yang sulit dilakukan. Ia akan bangkit dan berlari-lari, berjalan ke sana kemari, bahkan memanjat-manjat. Di samping itu, ia cenderung banyak bicara dan menimbulkan suara berisik.
Gejala impulsif ditandai dengan kesulitan anak untuk menunda respon. Ada semacam dorongan untuk mengatakan/melakukan sesuatu yang tidak terkendali. Dorongan tersebut mendesak untuk diekspresikan dengan segera dan tanpa pertimbangan. Contoh nyata dari gejala impulsif adalah perilaku tidak sabar. Anak tidak akan sabar untuk menunggu orang menyelesaikan pembicaraan. Anak akan menyela pembicaraan atau buru-buru menjawab sebelum pertanyaan selesai diajukan. Anak juga tidak bisa untuk menunggu giliran, seperti antri misalnya. Sisi lain dari impulsivitas adalah anak berpotensi tinggi untuk melakukan aktivitas yang membahayakan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Selain ketiga gejala di atas, untuk dapat diberikan diagnosis hiperaktif masih ada beberapa syarat lain. Gangguan di atas sudah menetap minimal 6 bulan, dan terjadi sebelum anak berusia 7 tahun. Gejala-gejala tersebut muncul setidaknya dalam 2 situasi, misalnya di rumah dan di sekolah.
Manifestasi klinis yang terjadi sangat luas, mulai dari yang ringan hingga berat atau bisa terjadi dengan jumlah gejala minimal hingga lebih banyak gejala. Tampilan klinis ADHD tampaknuya sudah bisa dideteksi sejak dini Sejas usia bayi. Gejala yang harus lebih dicermati pada usia bayi adalah bayi yang sangat sensitive terhadap suara dan cahaya, menangis, menjerit, sulit untuk diam, waktu tidur sangat kurang dan sering terbangun, kolik, sulit makan atau minum susu baik ASI atau susu botol., tidak bisa ditenangkan atau digendong, menolak untuk disayang, berlebihan air liur, kadang seperti kehausan sering minta minum, Head banging (membenturkan kepala, memukul kepala, menjatuhkan kepala kebelakang) dan sering marah berlebihan.
Keluhan lain pada anak besar adalah anak tampak Clumsy (canggung), impulsif, sering mengalami kecelakaan atau jatuh, perilaku aneh/berubah-ubah yang mengganggu, gerakan konstan atau monoton, lebih ribut dibandingkan anak lainnya. Agresif, Intelektual (IQ) normal atau tinggi tapi pretasi di sekolah buruk, Bila di sekolah kurang konsentrasi, aktifitas berlebihan dan tidak bisa diam, mudah marah dan meledak kemarahannya, nafsu makan buruk. Koordinasi mata dan tangan jelek., sulit bekerjasama, suka menentang dan tidak menurut, suka menyakiti diri sendiri (menarik rambut, menyakiti kulit, membentur kepala dll) dan gangguan tidur.
Tanda dan gejala pada anak yang lebih besar adalah tindakan yang hanya terfokus pada satu hal saja dan cenderung bertindak ceroboh, mudah bingung, lupa pelajaran sekolah dan tugas di rumah, kesulitan mengerjakan tugas di sekolah maupun di rumah, kesulitan dalam menyimak, kesulitan dalam menjalankan beberapa perintah, sering keceplosan bicara, tidak sabaran, gaduh dan bicara berbelit-belit, gelisah dan bertindak berlebihan, terburu-buru, banyak omong dan suka membuat keributan, dan suka memotong pembicaraan dan ikut campur pembicaraan orang lain
Gejala-gejala diatas biasanya timbul sebelum umur 7 tahun, dialami pada 2 atau lebih suasana yang berbeda (di sekolah, di rumah atau di klinik dll), disertai adanya hambatan yang secara signifikan dalam kehidupan sosial, prestasi akademik dan sering salah dalam menempatkan sesuatu, serta dapat pula timbul bersamaan dengan terjadinya kelainan perkembangan, skizofrenia atau kelainan psikotik lainnya20).
Tampilan lainnya pada anak dengan hiperaktif terjadi disorganisasi afektif, penurunan kontrol diri dan aktifitas yang berlebihan secara nyata. Mereka biasanya bertindak ‘nekat’ dan impulsif, kurang sopan, dan suka menyela pembicaraan serta mencampuri urusan orang lain. Sering kurang memperhatikan, tidak mampu berkonsentrasi dan sering tidak tuntas dalam mengerjakan sesuatu serta berusaha menghindari pekerjaan yang membutuhkan daya konsentrasi tinggi, tidak menghiraukan mainan atau sesuatu miliknya, mudah marah, sulit bergaul dan sering tidak disukai teman sebayanya. Tidak jarang mereka dengan kelainan ini disertai adanya gangguan pertumbuhan dan perkembangan, tetapi tidak didapatkan kelainan otak yang spesifik. Pada umumnya prestasi akademik mereka tergolong rendah dan minder. Mereka sering menunjukkan tidakan anti sosial dengan berbagai alasan sehingga orangtua, guru dan lingkungannya memperlakukan dengan tidak tepat dan tidak menyelesaikan masalah.
Sekitar 50-60% penderita ADHD didapatkan sedkitnya satu gangguan perilaku penyerta lainnya. Gangguan perilaku tersebut adalah gangguan belajar, restless-legs syndrome, ophthalmic convergence insufficiency, depresi, gangguan kecemasan, kepribadian antisosia, substance abuse, gangguan konduksi dan perilaku obsesif-kompulsif.
Penderita ADHD terjadi disorganisasi afektif, penurunan kontrol diri dan aktifitas yang berlebihan secara nyata. Mereka biasanya bertindak ‘nekat’ dan impulsif, kurang sopan, dan suka menyela pembicaraan serta mencampuri urusan orang lain. Sering kurang memperhatikan, tidak mampu berkonsentrasi dan sering tidak tuntas dalam mengerjakan sesuatu serta berusaha menghindari pekerjaan yang membutuhkan daya konsentrasi tinggi, tidak menghiraukan mainan atau sesuatu miliknya, mudah marah, sulit bergaul dan sering tidak disukai teman sebayanya. Tidak jarang mereka dengan kelainan ini disertai adanya gangguan pertumbuhan dan perkembangan, tetapi tidak didapatkan kelainan otak yang spesifik. Pada umumnya prestasi akademik mereka tergolong rendah dan minder. Mereka sering menunjukkan tidakan anti sosial dengan berbagai alasan sehingga orangtua, guru dan lingkungannya memperlakukan dengan tidak tepat dan tidak menyelesaikan masalah.
Resiko terjadi ADHD semakina meningkat bila salah satu saudara atau orang tua mengalami ADHD atau gangguan psikologis lainnya. Gangguan posikologis dan perilaku tersebut meliputi gangguan bipolar, gangguan konduksi, depresi, gangguan disosiatif, gangguan kecemasan, gangguan belajar, gangguan mood, gangguan panic, obsesif-kompulsif, gangguan panic disertai goraphobia. Juga kelainan perilaku lainnnya seperti gangguan perkembangan perfasif termasuk gangguan Asperger, Posttraumatic stress disorder (PTSD), Psychotic, Social phobia, ganggguan tidur, sindrom Tourette dan ticks.
Hiperaktivitas adalah salah satu aspek dari Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) atau yang dikenal dengan istilah Attention Deficit with/without Hyperactivity Disorder (ADD/HD). GPPH mencakup gangguan pada tiga aspek, yaitu sulit memusatkan perhatian, hiperaktivitas, dan impulsivitas. Apabila gangguan hanya terjadi pada aspek yang pertama, maka dinamakan Gangguan Pemusatan Perhatian (ADD), sedangkan bila ketiga aspek terkena imbas gangguan barulah disebut GPPH (ADHD).
——->Anak-anak yang sulit memusatkan perhatian biasanya menampilkan ciri-ciri, seperti ceroboh, sulit berkonsentrasi, seperti tidak mendengarkan bila diajak bicara, gagal menyelesaikan tugas, sulit mengatur aktivitas, menghindari tugas yang memerlukan pemikiran, kehilangan barang-barang, perhatian mudah teralih, dan pelupa.
Sedangkan, ciri-ciri dari hiperaktivitas adalah terus-menerus bergerak, memainkan jari atau kaki saat duduk, sulit duduk diam dalam waktu yang lama, berlarian atau memanjat secara berlebihan yang tidak sesuai dengan situasi, atau berbicara berlebihan. Sementara itu, impulsivitas ditampilkan dalam perilaku yang langsung menjawab sebelum pertanyaan selesai diajukan, sulit menunggu giliran dan senang menginterupsi atau mengganggu orang lain.
Bukan penyakit
Sydney Walker III, Direktur Institut Neuropsikiatris California Selatan, dalam bukunya Hyperactivity Hoax, menyatakan bahwa kesalahan mendasar dalam penanganan GPPH adalah memandangnya sebagai suatu diagnosa. GPPH bukanlah suatu penyakit, melainkan sekumpulan gejala yang dapat disebabkan oleh beragam penyakit dan gangguan.
Ambillah contoh, pusing. Pusing bukanlah penyakit tetapi suatu gejala. Pusing bisa merupakan gejala influenza. Juga bisa disebabkan terlambat makan, tekanan darah yang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Atau, bahkan bisa merupakan gejala tumor otak. Memberikan satu obat yang sama untuk semua gejala pusing, jelas tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan dapat memperburuk kondisi pasien.
Demikian pula halnya dengan GPPH. Tidaklah tepat bila memberikan obat atau pendekatan yang sama kepada semua anak yang mengalami GPPH, tanpa memahami terlebih dahulu penyakit atau gangguan yang melatarbelakanginya.
Faktor penyebab
GPPH dapat muncul sebagai efek dari adanya infeksi bakteri, cacingan, keracunan logam dan zat berbahaya (Pb, CO, Hg), gangguan metabolisme, gangguan endoktrin, diabetes, dan gangguan pada otak. Dengan mengatasi penyakit atau gangguan yang melatarbelakanginya, maka hiperaktivitas pun dapat tertanggulangi.
Penyakit keturunan seperti Turner syndrome, sickle-cell anemia, fragileX, dan Marfan syndrome juga dapat menimbulkan GPPH. Itulah sebabnya mengapa GPPH juga dapat ditemukan dalam garis darah keluarga turun-temurun. Dalam kasus seperti ini, GPPH dapat dikurangi dengan menghindari hal-hal yang menjadi keterbatasan mereka.
Selain itu, masalah dalam integrasi sensorik serta gangguan persepsi dapat melatarbelakangi timbulnya GPPH. Terkait dengan masalah ini diperlukan terapi khusus yang terfokus pada kekurangan tiap individu.
GPPH juga dapat bersumber pada gaya hidup yang tidak sehat. Konsumsi minuman berkafein (kopi, teh, coklat, cola, dan lain-lain) yang berlebihan, pola makan dengan gizi tak seimbang, serta kuantitas dan kualitas tidur yang kurang memadai disebut-sebut sebagai faktor yang turut menyumbang munculnya masalah ini.
Terkadang GPPH hanyalah dampak dari pola kehidupan yang kurang disiplin. Tanpa kedisiplinan yang konsisten, akhirnya mereka tumbuh menjadi anak-anak yang malas, sembrono, sulit mengendalikan diri, dan mematuhi peraturan. Untuk menanganinya diperlukan modifikasi perilaku dan kesediaan orangtua untuk mengubah pola asuh mereka. Dalam hal ini, psikolog memegang peranan yang penting untuk merancang program modifikasi perilaku dan memotivasi orangtua dalam menciptakan pola asuh yang lebih tepat.
Stimulan
Sebagian besar anak-anak yang mengalami GPPH mendapat perawatan medis berupa obat-obatan stimulan. Stimulan dipercaya dapat meningkatkan produksi dopamine dan norepinephrine, yaitu neurotransmiter otak yang penting untuk kemampuan memusatkan perhatian dan mengontrol perilaku. Ritalin dengan kandungan methylphenidate adalah salah satu stimulan yang paling banyak diresepkan.
Sementara mengonsumsi stimulan, anak akan mengikuti terapi dan modifikasi perilaku. Setelah terapi dan modifikasi perilaku membuahkan hasil, dosis stimulan akan dikurangi secara bertahap sampai akhirnya lepas obat sama sekali. Demikian pendekatan yang paling banyak digunakan selama ini. C Keith Conners PhD membuktikan efektivitas pendekatan ini melalui penelitiannya yang disponsori oleh Institut Kesehatan Mental Nasional Amerika (NIMH).
Di sisi lain, banyak juga pihak yang menentang pendekatan ini. Salah satunya adalah gerakan Alternative Mental Health di Amerika. Mereka memandang stimulan lebih banyak mendatangkan kerugian daripada manfaat. Para pakar yang bergabung dalam gerakan ini dengan giat melakukan penelitian tentang peranan nutrisi, diet, dan herbal untuk mengatasi GPPH. Hasil penelitian mereka dapat dipantau melalui situs www.alternativementalhealth.com.
Alasan yang lebih masuk akal dikemukakan oleh Sydney Walker III yang juga menentang penggunaan stimulan. Sydney mengingatkan, bahwa GPPH adalah sekumpulan gejala yang dilatarbelakangi beragam penyakit dan gangguan, sehingga tidaklah tepat menyamaratakan penanganannya. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa belum ada penelitian tentang efek jangka panjang stimulan. Penelitian Conners yang dianggap terhebat sekalipun hanya berlangsung dalam waktu 14 bulan.
Bahkan, Sydney mulai melihat kecenderungan anak-anak yang mengonsumsi stimulan tertentu lebih mudah menjadi pecandu narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba) di usia dewasa. Selain struktur biokimia-nya yang mirip dengan kokain, konsumsi stimulan membuat anak-anak terbiasa mencari jalan keluar yang instan. Kurt Cobain-penyanyi grup Rock Nirvana yang tewas bunuh diri-diangkat oleh Sydney sebagai contoh anak hiperaktif yang mendapatkan penanganan yang salah. Ia terjerat narkoba sampai akhir hayatnya.
Penanganan
Apa pun bentuk penanganan yang Anda pilih, dengan atau tanpa obat, hal utama yang perlu diperhatikan adalah menerima dan memahami kondisi anak. Orangtua dan pendidik perlu memahami bahwa tingkah laku si anak yang tidak pada tempatnya didasari oleh keterbatasan dan gangguan yang ia alami.
Bukan berarti orangtua dan pendidik lantas mengabaikan kedisiplinan, melainkan anak dibantu untuk memenuhi peraturan. Misalnya, agar anak dapat menyelesaikan tugas pada waktunya, bagilah tugas ke dalam beberapa bagian kecil (beberapa nomor), tetapkan pula batas waktunya dengan jelas. Usahakan agar ruang belajar bebas dari gangguan, seperti suara, pernak-pernik maupun orang-orang yang hilir mudik. Menempatkan anak di barisan paling depan dan memberikan tepukan lembut juga dapat membantunya untuk memusatkan perhatian.
Berbagai tips praktis di atas, tentu saja tidak akan bermanfaat, apabila penyebab dasarnya belum teridentifikasi. Untuk itu diperlukan kerja sama tim yang terdiri dari dokter, dokter spesialis, psikolog, psikiater, guru dan orangtua dalam proses identifikasi. Sesudah masalah teridentifikasi dengan jelas, program penanganan dapat dirancang dengan akurat.
Pada beberapa kasus, anak-anak dengan gangguan ini membutuhkan terapi, seperti terapi remedial, terapi integrasi sensori, maupun terapi lain yang sesuai dengan kebutuhannya. Pusat-pusat terapi semacam ini telah banyak berdiri, meskipun terbatas di kota-kota besar di Indonesia.
Ketekunan, konsistensi, kerja sama dan sikap mau mengubah diri sangatlah dituntut dari pihak orangtua dan pendidik. Dengan kasih sayang yang tulus, telah banyak orangtua dan pendidik yang berhasil membantu anak-anaknya mengatasi masalah mereka. Jadi, hiperaktivitas bukanlah masalah tanpa jalan keluar
sumber ; http://wartawarga.gunadarma.ac.id
Kamis, 13 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar